MENGKAJI ILMU GEOGRAFI POLITIK DENGAN SEJARAHNYA
SEJARAH
GEOGRAFI POLITIK
Perilaku politik adalah
perilaku dasar dan kehidupan sosial manusia. Komunita dan suku terasing dalam
mempertahankan klan-nya akan dilakukan secara politik Para kepala suku akan
mempengaruhi para pemudanya agar bersedia membela kelompoknya walaupun harus
ditukar dengan nyawanya. Proses persuasif kepala suku adalah bagian dan teknik
berkomunikasi tetapi tindakan kepala suku tersebut dapat pula dimaknai bahwa ia
telah bertindak politik, yaitu melakukan perang dan gangguan suku lain agar ia.
tetap sebagai kepala suku. Karena jika kelompok suku itu kalah dalam berperang
maka ia akan kehilangan kedudukannya. Ilustrasi di atas ingin menunjukkan bahwa
politik telah hidup sejak manusia eksis di permukaan bumi.
Kehidupan yang
bersifatgeografi politik juga telah berkembang cukup lama, yaitu ketika
kelompok manusia menetapkan wilayah kekuasannya. Pada suku suku terasing, di
mana tingkat peradaban mereka masih dalam tahap berburu dan meramu penetapan
wilayah kekuasaán penjelahan berburu sangat perlu dilakukan. Ketika mereka
menetapkan wilayah kekuasaan dan menjaga teritorialnya, maka pada dasarnya
telah berpolitik secara nyata. Kajian tentang wilayah-wilayah politik termasuk
kawasan kekuasaan berburu adalah bagian dan studi geografi politik.
Walaupun kehidupan
berpolitik, menjaga teritorial, atau bernegara sudah melekat dalam kehidupan
manusia, tetapi studi yang bersifat politik geografi politik baru nampak di
akhir abad ke-19. Alexander seperti
dikutip oleh Abdurachmat (1982) menyatakan bahwa studi yang bersifat geografi
politik sudah dimulai sejak lebih dan 2000 tahun yang lampau, dan memasuki abad
ke-20 barulah diajukan sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri yang
ditandai oleh terbitnya buku karangan Friedrich Ratzel yang berjudul Political
Geografi.
Dalam struktur ilmu geografi,
geografi politik merupakan bagian dari geografi manusia (Human Geography). Prinsip
studi geografi politik sejak kelahirannya mengutamakan prinsip relationship,
yaitu mempelajari hubungan antara political behavior dengan physical
features. Artinya perilaku politik penduduknya ditafsirkan atau dijelaskan
dan keterikátannya dengan gambaran fisik lingkungannya di mana komunitas
manusia itu hidup. Asumsi yang dibangun adalah perbedaan dan keanekaragaman
wilayah suatu negara mempengaruhi penduduknya, atau sebaliknya kemampuan
manusia suatu bangsa dapat menciptakan ruang negara yang lebih baik dan atau lebih
rusak oleh pengaruh manusia yang hidup di dalamnya.
Pada zaman Yunani Kuno, para filsuf
memandang kehidupan Negara bersifat deterministik, yaitu bahwa kehidupan
politik sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh keadaan alam; “...the
political institution and political behaviour.. .influe even controlled by
their physical setting.” Unsur Iingkungan yang dianggap dominan menurut
mereka adalah iklim dan relief permukaan bumi. Menurut para filsuf di zaman
itu, perilaku manusia yang rajin bekerja atau pemalas dipengaruhi iklim.
Manusia yang hidup di daerah iklim sedang atau empat musim akan membentuk
karakter pekerja keras, sedangkan manusia yang hidup di daerah tropis adalah
mereka yang pemalas. Karena para filsuf berkeyakinan kuat maka lahirlah istilah
bahwa mereka penganut environmentalist.
Di antara para environmentalist
zaman Yunani Kuno antara lain Herodotus (485-425 SM) yang mengarang buku
berjudul Influence of Atmosphere, Water and Situation; Aristoteles (383-322
SM) dengan bukunya berjudul Politics, terutama pada bab VII; dan Strabo
(63 SM-24 M) dengan karyanya Geography. Semuanya cenderung
berpendapat bahwa manusia tidak memiliki pilihan terhadap alam lingkungannya.
Pemikiran tentang environmentalist
tetap terpelihara di zaman kemandekan ilmu pengetahuan atau dikenal dengan
Abad Kegelapan (The Dark Ages). Ketika itu, kebebasan berpikir rasional
sangat terhambat oleh “supernaturalisme” agama Kristen sehingga para ilmuwan
tidak berani mengajukan hipotesa apalagi melakukan penelitian ilmiah.
Perkembangan pemikiran geografi pada waktu itu sangat terhambat. Para pemikir
politik yang masih memelihara keyakinan environmentalist pada abad kegelapan
antara lain Bodin (1593-1595) dan Monte (1689-1755), yang berpendapat
bahwa negara dipengaruhi oleh lingkungan alam bahkan dapat berpengaruh terhadap
watak dari setiap negara yang berada di atasnya.
Bodin dalam Abdurachmat (1982) menegaskan bahwa
karakteristik bangsa-bangsa berbeda dan berubah sesuai dengan perubahan iklim
dan topografi. Dalam bukunya yang berjudul “Six Livres de la Republique” menyatakan
bahwa bangsa yang tinggal di kawasan pegunungan pada umumnya merupakan bangsa
yang kuat, berdisiplin dan bersemangat. Montesquieu juga berpendapat di
dalam bukunya yang berjudul “De l’esprit des Lois” bahwa iklim,
topografi dan juga faktor fisis lainnya sangat berpengaruh dalam sistem politik.
Besarnya pengaruh faktor alam
terhadap negara, para ahli Perancis pada masa itu dijuluki The School of
Natural Law membuat pernyataan yang terkenal “...that physical nature
was designed to serve man’s best interest, and man’s duty is t choose
thecourseofaction that harmonized best with the dictatesofnature” (Abdurachmat 1982 setelah Pounds, 1963: 393). Intinya bahwa
kondisi fisik alamiah dirancang untuk melayani manusia dengan baik dan tugas
manusia adalah memilih tindakan yang selaras dengan apa yang diberikan oleh
alam.
Memasuki abad ke-19 muncullah
faham fisis determinisme yang tidak jauh berbeda dengan aliran enviromentalisme
di abad sebelumnya. Faham fisis determinisme adalah faham politik yang
berpendapat bahwa faktor fisis lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktivitas
kehidupan politik dan agama tokoh aliran ini antara lain Karl Ritter dan Ratzel berkebangsaan Jerman. Untuk tokoh yang terakhir nampaknya
lebih banyak dikenal sehingga ada juga yangmenyebutkan bahwa fisis determinisme
disebutjuga Mazhab Ratzel.
Mazhab Ratzel berpendapat bahwa faktor alam bukan hanya
berpengaruh tetapi juga memegang peranan penting dalam menentukan the state
and politic power. Karl Ritter (1779-1859) yang bekerja di
Universitas Berlin mengembangkan apa yang dikenal dengan konsep Living
Globe yang kemudian berkembang
menjadi The Organic View of the State. Menurut Ritter, negara adalah suatu organisme hidup, ia dilahirkan dan
tumbuh menjadi negara muda, remaja, dewasa dan akhirnya akan mati.
Ratzel (1844-1904) dan Universitas Leipzig
mempertegas pendapat pendahulunya. Kekuatan negara menurut Ratzel banyak
ditentukan oleh faktor geografis (letak, luas, bentuk, sumber daya alam, sumber
daya manusia dan hubungan internalnya). Faktor geografis merupakan indikator
tumbuh dan berkembangnya kekuatan negara. Negara merupakan Organic State yang mengalami perkembangan
dan pertumbuhan seperti halnya makhluk yang tergantung dari faktor-faktor
geografis. Karena setiap makhluk membutuhkan ruang hidup dan untuk mempertahankan
kelansungan hidupnya itu, ia harus berjuangan untuk mendapatkan dan memperluas
ruang hidupnya. Dasar pemikiran ini kelak akan dimanipulasi oleh Karl Hausho policy
advice kepada Adolf Hitler. Pada masa itu, Hitler seolah-olah mer
“justifikasi” atas nafsu serakahnya (fasis) untuk melakukan penjajahan negara
lain. Cara-cara Haushofer mernalsukan ilmu ilmiah menjadi dasa politik
seseorang dikenal dengan konsep geopolitik.
Negara dalam pandangan
politik Ratzel harus jelas batas-batas wilayahnya. Pada tahun 1897
Ratzel menerbitkan sebuah buku yang berjudul Politisch Geographie yang
isinya menekankan bahwa wilayah teritorial suatu negara ditetapkan dengan
tegas, karena dengan menentukan batas negara dapat ditentukan luas negara dan
juga kekuatan nasional negara bersangkutan.
Konsep dan pendekatan Organic
State sampai pada permulaan abad ke-20 masih merupakan konsep dan
pendekatan yang obyektif. Namun setelah “pelacuran intelektual” yang dilakukan
oleh Haushofer, dunia menjadi kacau balau menuju kerusakan yang serius. Fasis
Jerman merajalela hingga meletusnya Peran Dunia ll.
Dengan melihat “kerusakan”
dunia akibat penyimpangan konsep fisis
determinis maka muncullah gagasan untuk kembali ke konsep baru, yaitu aura possibilisme
yang dipelopori oleh Jean Brunhes (1869-1930), Albert Demangeot dan Paul
Vidal de La Blache (1845-1919). Possibilisme berpendapat bahwa negara
bukanlah “an organic power political entity’ akan tetapi merupakan
”suatu kesatua nasional dan kultural” yang aktivitas-aktivitasnya ditentukan
oleh “the collective consciousness of its citizens”. Faktor lingkungan
alam tidaklah mutlak menentukan segala aspek kehidupan manusia, sebab keadaan
alam memberi kemungkinan-kemungkinan kepada manusia untuk memilih
alternatif-alternatif yang lebih menguntungkan bagi perkembangan dan
penghidupannya. Manusia adalah subyek yang aktif dan tidak hanya menerima
begitu saja atas perlakuan alam terhadapnya.
Pendapat ini terus dikawal
oleh para ilmuwan geografi untuk membangun wacara baru dan menggempur konsep
geopolitik Jerman. Hasilnya, aliran possibilisme memberi semangat bagi
negara-negara di luar Jerman untuk bangkit dan menghitung kekuatan negaranya
dengan lebih baik. Para tokoh politik akhirnya menyadari bahwa masalah power
tidak hanya ditentukan oleh nation determinis (kekuatan yang terdapat di
dalam negeri) akan tetapi dapat ditentukan oleh faktor relasi antarnegara.
Kekuatan dan negara-negara kecil (baca: negara lemah atau miskin) dapat menjadi
lebih kuat jika bekerja sama.
Gagasan positifnya dan aliran
possibilisme adalah memberi semangat bahwa walaupun luas negaranya
sempit (kecil) dan miskin akan sumber daya alam, tetapi jika melakukan
kerjasama politik maka ia akan tumbuh dan berkembang sangat kuat. Asumsi ini
digunakan oleh Singapura hingga tumbuh sehat sebagai negara kecil yang kaya.
Di akhir masa hidupnya,
Ratzel memperkirakan akan munculnya suatu pandangan bahwa peranan lautan akan
menjadi pemersatu kultur manusia. Ia berpendapat bahwa akan terjadi perjuangan
dan persaingan antara Negara-negara maritime dan continental dalam
memperebutkan dominasi dunia. Ritzel juga menyebutkan bahwa samudera pasifik
sebagai ocean of the future. Tokoh
lain yang tertarik terhadap peranan lautan dalam pertumbuhan dan
perkemban kekuatan negara, antara lain Alfred Thayer Mahan (1840-1 914). Ia berpendapat bahwa
kepemilikan maritim yang luas akan menguasai dunia. Teori Mahan nampaknya
didasarkan pada pengamatannya terhadap lnggris yang telah sukses dalam
ekspansinya melalui lautan. Di hampir semua tulisannya, Mahan cenderung
berpendapat bahwa pola kekuatan dunia masa yang akan datang, didasar pada
penguasaan atas lautan. Jadi menurutnya, negara yang akan berkuasa adalah
negara yang mempunyai kekuatan maritim yang hebat dan juga mampu menguasai
lautan.
Pada saat bersamaan, Sir Halford Mackinder (1861-1947)
dari Inggris memunculkan konsep global power forces yang berbeda dengan
Mahan mengingatkan bahwa continental power juga penting. Tulisannya yang
berjudul The Geographic Pivot of History yang terbit pada tahun 1904,
menyatakan bahwa daerah pedalaman benua Eurasia merupakan daerah poros (pivot
region) P0litik dan kekuatan dunia. Ia kemudian mengusulkan adanya konsep The
Heartland yang membentang mulai dan Laut Baltik dan Laut Hitam di sebelah
barat sampai sungai Yenisey di sebelah Timur. Mackinder mengatakan,
bahwa barang siapa yang menguasai Eropa Timur, Ia akan menguasai “daerah
jantung”; barang siapa yang menguasai daerah jantung, ia akan dapat menguasai
benua Eurasia; barang siapa dapat menguasai Eurasia berarti ia akan dapat
menguasai dunia.
Di samping kedua konsep global
power di atas, muncul pula Nicholas
J. Spykman (1893-1943) yang berpendapat daerah jantung bukanlah Eurasia, tetapi
justru daerah tepi benua yang merupakan daerah yang kaya sumber daya dan penduduknya.
Daerah tepi benua ini disebutnya sebagai The Rimland, dan barang siapa
yang menguasai The Rimland maka ia akan mampu menguasai dunia. Spykman
yang berjudul The Geography of the Piece terbit pada tahun 1944.
Memasuki abad ke-20, banyak
dari para sarjana geografi politik mulai meninggalkan pendekatan dan konsep
kekuatan dalam membahas mengenai negara. Banyak yang berpendapat bahwa analisa
yang menekankan masalah kekuatan sering kurang objektif dan dapat menimbulkan
penyimpan-penyimpangan yang dapat dipakai sebagai landasan tindakan politik
yang sifatnya destruktif. Oleh karena itu para sarjana abad ke-20 cenderung lebih
menekankan pada masalah-masalah yang lebih spesifik, yang berkaitan dengan specific
politico-geographic aspect.
Setelah berakhirnya Perang
Dunia I, rangsangan yang dramatis dalam perkembangan geografi politik bukan
hanya sekedar sebagal pelajaran pada sebuah kegiatan akademik, tetapi
benar-benar dipraktekkan di beberapa negara seperti lnggris, Prancis, Polandia,
Hungaria dan Amerika. Pada saat Perang dunia II dimulai, geografi politik
rnenjadi sebuah subjek akademik yang penting. Kebanyakan dan para ahli geografi
politik bekerja untuk pemerintahnya masing-masing baik bekerja pada bidang
politik maupun di bidang militer. Dengan demikian, geografi politik telah sejak
dulu dipelajari oleh para ahli dan para politik untuk kepentingan nasionalnya.
Belakangan, geografi politik
lebih mengkhususkan diri pada pembahas mengenai wilayah-wilayah yang lebih
khusus. Misalnya mengenai masalah wilayah kekuasaan negara bagian atau
provinsi. Dapat kita sebutkan misalnya analisa Sophia Saucerman mengenai
perubahan wilayah kekuasaan Negara-negara di Eropa setelah tahun 1918, tentang
Kashmir, Tyrol Selatan, daerah Saar dan lain-lain. Keith Buchanan menulis
tentang persatuan dan perpecahan yang terjadi di Negeria. Akhirnya
berkembanglah studi wilayah-wilayah politisi yang lebih luas seperti tentang
NATO, Masyarakat Ekonomi Eropa, negara-negara Pakta Warsawa, dan lain
sebagainya.
Penulis mengusulkan untuk
awal abad ke-21, geografi politik diarahkan kepada kajian tentang ketahanan
negara dalam menghadapi kemiskinan, penyediaan bahan pangan, dan penyediaan
sumber daya alam alternatif. Geografi politik dimanfaatkan untuk memberi
kesejahteraan umat manusia dan bukan untuk saling mengalahkan antarbangsa.
menurut saya kalau artikel-artikel bagus seperti ini seharusnya di buat daftar pustaka (referensi) nya. dan kalau bisa ada abstraknya. jadi lebih berguna bagi mahasiswa. terima kasih :)
BalasHapus