Pages

MENU

Kamis, 24 Oktober 2013

GEOGRAFI POLITIK



MENGKAJI ILMU GEOGRAFI POLITIK DENGAN SEJARAHNYA
 SEJARAH GEOGRAFI POLITIK
 Perilaku politik adalah perilaku dasar dan kehidupan sosial manusia. Komunita dan suku terasing dalam mempertahankan klan-nya akan dilakukan secara politik Para kepala suku akan mempengaruhi para pemudanya agar bersedia membela kelompoknya walaupun harus ditukar dengan nyawanya. Proses persuasif kepala suku adalah bagian dan teknik berkomunikasi tetapi tindakan kepala suku tersebut dapat pula dimaknai bahwa ia telah bertindak politik, yaitu melakukan perang dan gangguan suku lain agar ia. tetap sebagai kepala suku. Karena jika kelompok suku itu kalah dalam berperang maka ia akan kehilangan kedudukannya. Ilustrasi di atas ingin menunjukkan bahwa politik telah hidup sejak manusia eksis di permukaan bumi.
Kehidupan yang bersifatgeografi politik juga telah berkembang cukup lama, yaitu ketika kelompok manusia menetapkan wilayah kekuasannya. Pada suku suku terasing, di mana tingkat peradaban mereka masih dalam tahap berburu dan meramu penetapan wilayah kekuasaán penjelahan berburu sangat perlu dilakukan. Ketika mereka menetapkan wilayah kekuasaan dan menjaga teritorialnya, maka pada dasarnya telah berpolitik secara nyata. Kajian tentang wilayah-wilayah politik termasuk kawasan kekuasaan berburu adalah bagian dan studi geografi politik.
Walaupun kehidupan berpolitik, menjaga teritorial, atau bernegara sudah melekat dalam kehidupan manusia, tetapi studi yang bersifat politik geografi politik baru nampak di akhir abad ke-19.  Alexander seperti dikutip oleh Abdurachmat (1982) menyatakan bahwa studi yang bersifat geografi politik sudah dimulai sejak lebih dan 2000 tahun yang lampau, dan memasuki abad ke-20 barulah diajukan sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri yang ditandai oleh terbitnya buku karangan Friedrich Ratzel yang berjudul Political Geografi.
Dalam struktur ilmu geografi, geografi politik merupakan bagian dari geografi manusia (Human Geography). Prinsip studi geografi politik sejak kelahirannya mengutamakan prinsip relationship, yaitu mempelajari hubungan antara political behavior dengan physical features. Artinya perilaku politik penduduknya ditafsirkan atau dijelaskan dan keterikátannya dengan gambaran fisik lingkungannya di mana komunitas manusia itu hidup. Asumsi yang dibangun adalah perbedaan dan keanekaragaman wilayah suatu negara mempengaruhi penduduknya, atau sebaliknya kemampuan manusia suatu bangsa dapat menciptakan ruang negara yang lebih baik dan atau lebih rusak oleh pengaruh manusia yang hidup di dalamnya.
Pada zaman Yunani Kuno, para filsuf memandang kehidupan Negara bersifat deterministik, yaitu bahwa kehidupan politik sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh keadaan alam; “...the political institution and political behaviour.. .influe even controlled by their physical setting.” Unsur Iingkungan yang dianggap dominan menurut mereka adalah iklim dan relief permukaan bumi. Menurut para filsuf di zaman itu, perilaku manusia yang rajin bekerja atau pemalas dipengaruhi iklim. Manusia yang hidup di daerah iklim sedang atau empat musim akan membentuk karakter pekerja keras, sedangkan manusia yang hidup di daerah tropis adalah mereka yang pemalas. Karena para filsuf berkeyakinan kuat maka lahirlah istilah bahwa mereka penganut environmentalist.
Di antara para environmentalist zaman Yunani Kuno antara lain Herodotus (485-425 SM) yang mengarang buku berjudul Influence of Atmosphere, Water and Situation; Aristoteles (383-322 SM) dengan bukunya berjudul Politics, terutama pada bab VII; dan Strabo (63 SM-24 M) dengan karyanya Geography. Semuanya cenderung berpendapat bahwa manusia tidak memiliki pilihan terhadap alam lingkungannya.
Pemikiran tentang environmentalist tetap terpelihara di zaman kemandekan ilmu pengetahuan atau dikenal dengan Abad Kegelapan (The Dark Ages). Ketika itu, kebebasan berpikir rasional sangat terhambat oleh “supernaturalisme” agama Kristen sehingga para ilmuwan tidak berani mengajukan hipotesa apalagi melakukan penelitian ilmiah. Perkembangan pemikiran geografi pada waktu itu sangat terhambat. Para pemikir politik yang masih memelihara keyakinan environmentalist pada abad kegelapan antara lain Bodin (1593-1595) dan Monte (1689-1755), yang berpendapat bahwa negara dipengaruhi oleh lingkungan alam bahkan dapat berpengaruh terhadap watak dari setiap negara yang berada di atasnya.
Bodin dalam Abdurachmat (1982) menegaskan bahwa karakteristik bangsa-bangsa berbeda dan berubah sesuai dengan perubahan iklim dan topografi. Dalam bukunya yang berjudul “Six Livres de la Republique” menyatakan bahwa bangsa yang tinggal di kawasan pegunungan pada umumnya merupakan bangsa yang kuat, berdisiplin dan bersemangat. Montesquieu juga berpendapat di dalam bukunya yang berjudul “De l’esprit des Lois” bahwa iklim, topografi dan juga faktor fisis lainnya sangat berpengaruh dalam sistem politik.
Besarnya pengaruh faktor alam terhadap negara, para ahli Perancis pada masa itu dijuluki The School of Natural Law membuat pernyataan yang terkenal “...that physical nature was designed to serve man’s best interest, and man’s duty is t choose thecourseofaction that harmonized best with the dictatesofnature” (Abdurachmat 1982 setelah Pounds, 1963: 393). Intinya bahwa kondisi fisik alamiah dirancang untuk melayani manusia dengan baik dan tugas manusia adalah memilih tindakan yang selaras dengan apa yang diberikan oleh alam.
Memasuki abad ke-19 muncullah faham fisis determinisme yang tidak jauh berbeda dengan aliran enviromentalisme di abad sebelumnya. Faham fisis determinisme adalah faham politik yang berpendapat bahwa faktor fisis lingkungan sangat berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan politik dan agama tokoh aliran ini antara lain Karl Ritter dan Ratzel berkebangsaan Jerman. Untuk tokoh yang terakhir nampaknya lebih banyak dikenal sehingga ada juga yangmenyebutkan bahwa fisis determinisme disebutjuga Mazhab Ratzel.
Mazhab Ratzel berpendapat bahwa faktor alam bukan hanya berpengaruh tetapi juga memegang peranan penting dalam menentukan the state and politic power. Karl Ritter (1779-1859) yang bekerja di Universitas Berlin mengembangkan apa yang dikenal dengan konsep Living Globe  yang kemudian berkembang menjadi The Organic View of the State. Menurut Ritter, negara adalah suatu organisme hidup, ia dilahirkan dan tumbuh menjadi negara muda, remaja, dewasa dan akhirnya akan mati.
Ratzel (1844-1904) dan Universitas Leipzig mempertegas pendapat pendahulunya. Kekuatan negara menurut Ratzel banyak ditentukan oleh faktor geografis (letak, luas, bentuk, sumber daya alam, sumber daya manusia dan hubungan internalnya). Faktor geografis merupakan indikator tumbuh dan berkembangnya kekuatan negara. Negara merupakan Organic State yang mengalami perkembangan dan pertumbuhan seperti halnya makhluk yang tergantung dari faktor-faktor geografis. Karena setiap makhluk membutuhkan ruang hidup dan untuk mempertahankan kelansungan hidupnya itu, ia harus berjuangan untuk mendapatkan dan memperluas ruang hidupnya. Dasar pemikiran ini kelak akan dimanipulasi oleh Karl Hausho policy advice kepada Adolf Hitler. Pada masa itu, Hitler seolah-olah mer “justifikasi” atas nafsu serakahnya (fasis) untuk melakukan penjajahan negara lain. Cara-cara Haushofer mernalsukan ilmu ilmiah menjadi dasa politik seseorang dikenal dengan konsep geopolitik.
Negara dalam pandangan politik Ratzel harus jelas batas-batas wilayahnya. Pada tahun 1897 Ratzel menerbitkan sebuah buku yang berjudul Politisch Geographie yang isinya menekankan bahwa wilayah teritorial suatu negara ditetapkan dengan tegas, karena dengan menentukan batas negara dapat ditentukan luas negara dan juga kekuatan nasional negara bersangkutan.
Konsep dan pendekatan Organic State sampai pada permulaan abad ke-20 masih merupakan konsep dan pendekatan yang obyektif. Namun setelah “pelacuran intelektual” yang dilakukan oleh Haushofer, dunia menjadi kacau balau menuju kerusakan yang serius. Fasis Jerman merajalela hingga meletusnya Peran Dunia ll.
Dengan melihat “kerusakan” dunia akibat penyimpangan konsep  fisis determinis maka muncullah gagasan untuk kembali ke konsep baru, yaitu aura possibilisme yang dipelopori oleh Jean Brunhes (1869-1930), Albert Demangeot dan Paul Vidal de La Blache (1845-1919). Possibilisme berpendapat bahwa negara bukanlah “an organic power political entity’ akan tetapi merupakan ”suatu kesatua nasional dan kultural” yang aktivitas-aktivitasnya ditentukan oleh “the collective consciousness of its citizens”. Faktor lingkungan alam tidaklah mutlak menentukan segala aspek kehidupan manusia, sebab keadaan alam memberi kemungkinan-kemungkinan kepada manusia untuk memilih alternatif-alternatif yang lebih menguntungkan bagi perkembangan dan penghidupannya. Manusia adalah subyek yang aktif dan tidak hanya menerima begitu saja atas perlakuan alam terhadapnya.
Pendapat ini terus dikawal oleh para ilmuwan geografi untuk membangun wacara baru dan menggempur konsep geopolitik Jerman. Hasilnya, aliran possibilisme memberi semangat bagi negara-negara di luar Jerman untuk bangkit dan menghitung kekuatan negaranya dengan lebih baik. Para tokoh politik akhirnya menyadari bahwa masalah power tidak hanya ditentukan oleh nation determinis (kekuatan yang terdapat di dalam negeri) akan tetapi dapat ditentukan oleh faktor relasi antarnegara. Kekuatan dan negara-negara kecil (baca: negara lemah atau miskin) dapat menjadi lebih kuat jika bekerja sama.
Gagasan positifnya dan aliran possibilisme adalah memberi semangat bahwa walaupun luas negaranya sempit (kecil) dan miskin akan sumber daya alam, tetapi jika melakukan kerjasama politik maka ia akan tumbuh dan berkembang sangat kuat. Asumsi ini digunakan oleh Singapura hingga tumbuh sehat sebagai negara kecil yang kaya.
Di akhir masa hidupnya, Ratzel memperkirakan akan munculnya suatu pandangan bahwa peranan lautan akan menjadi pemersatu kultur manusia. Ia berpendapat bahwa akan terjadi perjuangan dan persaingan antara Negara-negara maritime dan continental dalam memperebutkan dominasi dunia. Ritzel juga menyebutkan bahwa samudera pasifik sebagai ocean of the future. Tokoh lain yang tertarik terhadap peranan lautan dalam pertumbuhan dan perkemban kekuatan negara, antara lain Alfred Thayer Mahan (1840-1 914). Ia berpendapat bahwa kepemilikan maritim yang luas akan menguasai dunia. Teori Mahan nampaknya didasarkan pada pengamatannya terhadap lnggris yang telah sukses dalam ekspansinya melalui lautan. Di hampir semua tulisannya, Mahan cenderung berpendapat bahwa pola kekuatan dunia masa yang akan datang, didasar pada penguasaan atas lautan. Jadi menurutnya, negara yang akan berkuasa adalah negara yang mempunyai kekuatan maritim yang hebat dan juga mampu menguasai lautan.
Pada saat bersamaan, Sir Halford Mackinder (1861-1947) dari Inggris memunculkan konsep global power forces yang berbeda dengan Mahan mengingatkan bahwa continental power juga penting. Tulisannya yang berjudul The Geographic Pivot of History yang terbit pada tahun 1904, menyatakan bahwa daerah pedalaman benua Eurasia merupakan daerah poros (pivot region) P0litik dan kekuatan dunia. Ia kemudian mengusulkan adanya konsep The Heartland yang membentang mulai dan Laut Baltik dan Laut Hitam di sebelah barat sampai sungai Yenisey di sebelah Timur. Mackinder mengatakan, bahwa barang siapa yang menguasai Eropa Timur, Ia akan menguasai “daerah jantung”; barang siapa yang menguasai daerah jantung, ia akan dapat menguasai benua Eurasia; barang siapa dapat menguasai Eurasia berarti ia akan dapat menguasai dunia.
Di samping kedua konsep global power di atas, muncul pula Nicholas J. Spykman (1893-1943) yang berpendapat daerah jantung bukanlah Eurasia, tetapi justru daerah tepi benua yang merupakan daerah yang kaya sumber daya dan penduduknya. Daerah tepi benua ini disebutnya sebagai The Rimland, dan barang siapa yang menguasai The Rimland maka ia akan mampu menguasai dunia. Spykman yang berjudul The Geography of the Piece terbit pada tahun 1944.
Memasuki abad ke-20, banyak dari para sarjana geografi politik mulai meninggalkan pendekatan dan konsep kekuatan dalam membahas mengenai negara. Banyak yang berpendapat bahwa analisa yang menekankan masalah kekuatan sering kurang objektif dan dapat menimbulkan penyimpan-penyimpangan yang dapat dipakai sebagai landasan tindakan politik yang sifatnya destruktif. Oleh karena itu para sarjana abad ke-20 cenderung lebih menekankan pada masalah-masalah yang lebih spesifik, yang berkaitan dengan specific politico-geographic aspect.
Setelah berakhirnya Perang Dunia I, rangsangan yang dramatis dalam perkembangan geografi politik bukan hanya sekedar sebagal pelajaran pada sebuah kegiatan akademik, tetapi benar-benar dipraktekkan di beberapa negara seperti lnggris, Prancis, Polandia, Hungaria dan Amerika. Pada saat Perang dunia II dimulai, geografi politik rnenjadi sebuah subjek akademik yang penting. Kebanyakan dan para ahli geografi politik bekerja untuk pemerintahnya masing-masing baik bekerja pada bidang politik maupun di bidang militer. Dengan demikian, geografi politik telah sejak dulu dipelajari oleh para ahli dan para politik untuk kepentingan nasionalnya.
Belakangan, geografi politik lebih mengkhususkan diri pada pembahas mengenai wilayah-wilayah yang lebih khusus. Misalnya mengenai masalah wilayah kekuasaan negara bagian atau provinsi. Dapat kita sebutkan misalnya analisa Sophia Saucerman mengenai perubahan wilayah kekuasaan Negara-negara di Eropa setelah tahun 1918, tentang Kashmir, Tyrol Selatan, daerah Saar dan lain-lain. Keith Buchanan menulis tentang persatuan dan perpecahan yang terjadi di Negeria. Akhirnya berkembanglah studi wilayah-wilayah politisi yang lebih luas seperti tentang NATO, Masyarakat Ekonomi Eropa, negara-negara Pakta Warsawa, dan lain sebagainya.
Penulis mengusulkan untuk awal abad ke-21, geografi politik diarahkan kepada kajian tentang ketahanan negara dalam menghadapi kemiskinan, penyediaan bahan pangan, dan penyediaan sumber daya alam alternatif. Geografi politik dimanfaatkan untuk memberi kesejahteraan umat manusia dan bukan untuk saling mengalahkan antarbangsa.

1 komentar:

  1. menurut saya kalau artikel-artikel bagus seperti ini seharusnya di buat daftar pustaka (referensi) nya. dan kalau bisa ada abstraknya. jadi lebih berguna bagi mahasiswa. terima kasih :)

    BalasHapus

MENU BAR